Apakah Peranan Perempuan dalam Skenario Blue Print Panca Sila ?
SOAL PEREMPUAN
Nabi Muhamad s.a.w. pernah bersabda, bahwa: “Perempuan itu tiang negeri“. Manakala baik perempuan, baiklah negeri. Manakala rusak perempuan, maka rusaklah negeri“.
Wahai kaum laki-laki, marilah kita ikut memikirkan soal perempuan ini! Dan marilah kita memikirkan soal perempuan ini bersama-sama dengan kaum perempuan. Sebab di dalam masyarakat sekarang ini kadang laki-laki terlalu main yang dipertuan diatas soal-soal mengenai perempuan. Dia, kaum laki-laki kadang-kadang merasa dirinya diserahi memikirkan serta memecahkan masalah, dan yang merasa paling bijaksana untuk mengambil keputusan. Sedangkan kaum perempuan tidak diajak berbicara dan disuruh terima saja apa yang telah diputuskan oleh kaum laki-laki itu.
Sesungguhnya kita harus belajar insyaf, bahwa soal masyarakat dan negara adalah soal laki-laki dan perempuan. Soal perempuan bukanlah buat kaum perempuan saja tapi soal masyarakat dan negara yang amat penting. Karena soal perempuan adalah soal masyarakat maka soal perempuan sama tuanya dengan masyarakat, juga sama tuanya dengan kemanusiaan. Lebih tegasnya, soal laki-laki dan perempuan sama tuanya dengan kemanusiaan.
Sejak manusia hidup di dalam gua-gua dan rimba-rimba belum mengenal rumah, sejak zaman Adam dan Hawa kemanusiaan itu pincang karena terganggu soal ini. Sekarang kaum perempuan duduk ditingkatan bawah, di zaman purbakala kaum laki-laki duduk ditingkat bawah. Sekarang kaum laki-laki yang berkuasa, zaman purbakala kaum perempuanlah yang berkuasa. Kemanusiaan; diatas lapangan soal perempuan dan laki-laki selalu pincang. Dan kemanusiaan akan terus pincang, selama yang satu akan menindas yang lain.
Harmoni hanya akan dapat dicapai kalau tidak ada yang satu diatas yang lain atau yang satu menindas yang lain. Tetapi harus sejajar, yang satu ada di sebelah yang lain, yang satu memperkuat kedudukan yang lain. Tetapi masing-masing dengan kodratnya sendiri. Sebab siapa melanggar kodrat alam ini, akhirnya niscaya akan remuk redam oleh alam itu sendiri. Alam benar adalah alam “sabar“. Alam benar tampaknya diam tetapi dia tidak dapat diperkosa, ia tidak mau diperkosa. Alam benar tidak mau ditundukkan.
LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN
Allah telah berfirman, bahwa Ia membuat segala hal berpasangan:
Yassin ayat 36 “Maha mulialah Dia, yang menjadikan segala sesuatu berpasang-pasangan“.
“Dan Dia yang menciptakan semua berpasang-pasangan, dan Dia yang menjadikan kamu bahtera dan binatang-binatang ternak yang kamu kendarai“ (S43:12).
“Dan kami cipatakan segala sesuatu berpasangan supaya kamu mendapat pengajaran“ (S51:49).
Perhatikan ayat itu! Semua, segala hal! Jadi bukan hanya manusia saja berpasang-pasangan. Bukan hanya kita manusia yang ada laki dan perempuannya. Binatangpun ada betina dan jantan, bunga-bunga pun ada jantan dan betinanya, alam ada malam dan siangnya, tenaga-tenaga ada aksi dan reaksinya, elektron-elektron ada positif dan negatifnya, segala kedudukan ada tesis dan antitesisnya. Ilmu yang Maha hebat ini, yang mengagumkan ini telah keluar dari mulutnya Nabi Muhammad s.a.w ditengah padang pasir beratus-ratus tahun yang lalu. Maha bijaksanalah mulut yang mengikrarkan perkataan itu! Sebab didalamnya tergambarkan segala sifat dan hakekat alam.
Alam membuat manusia berpasang-pasangan. Laki-laki tidak bisa jika tidak ada perempuan, perempuan juga tidak bisa jika tidak ada laki-laki. Laki-laki tidak dapat hidup normal dan subur tanpa perempuan, demikian juga perempuan tidak dapat normal dan subur tanpa laki-laki. Laki-laki dan perempuan adalah dua mahkluk hidup yang terikat dalam satu tali gaib, satu “tali hidup”. Sebegitu terikatnya sehingga satu sama lain tidak dapat mendahului yang lainnya, maka tidak dapat melangkah setapakpun tanpa mengajak atau membawa yang lain. Bukan hanya laki-laki dan perempuan saja yang tak dapat berpisah satu sama lain tapi intinya masyarakat manusia tidak dapat maju tanpa mengajak atau membawa perempuan atau laki-laki yang lain. Karena itu janganlah masyarakat laki-laki mengira, bahwa ia dapat maju jika tidak dibarengi oleh kemajuan masyarakat perempuan pula.
Janganlah laki-laki mengira, bahwa bisa ditanam suatu kultur yang sebenar-benarnya kultur, kalau perempuan dihinakan dalam kultur itu. Setengah ahli tarekat menetapkan, bawa kultur Yunani jatuh karena perempuannya dihinakan dalam kultur Yunani itu dan semenjak kultur masyarakat Islam (bukan agama islam) kurang menetapkan kaum perempuan pula ditempat yang seharusnya, maka matahari kultur Islam lambat laun terbenam, sedikit-dikitnya suram.
Dalam masyarakat laki-laki di negara kita ini kebanyakan orang laki-laki memandang perempuan sebagai “suatu blasteran antara seorang dewi dan seorang tolol“. Dipuja-puja sebagai seorang dewi tapi di sisi lain dianggap sebagai si tolol. Contoh yang jelas dalam rumah tangga, tidakkah masih banyak laki-laki yang mendewi tololkan istrinya itu? Malahan sekarang dalam peradaban dunia modern ini berdiri diatas kenyataan “dewi-tolol” itu? Sebab, tidakkah seluruh hukum sipil dan adat istiadat dinegeri ini sebenarnya masih mendewi-tololkan perempuan ?
Kaum laki-laki memuliakan isteri mereka, mereka cintai seperti barang yang berharga, mereka simpan dalam pundi atau kotak seperti mutiara. Tetapi justru sebagaimana orang menyimpan mutiara dalam kotak, demikian pula mereka mereka menyimpan isterinya itu dalam kurungan atau pingitan. Mereka kaum laki-laki bilang bukan untuk memperbudak, atau merendahkannya melainkan untuk menjaganya, untuk menghormati dan memuliakan isterinya itu. Perempuan mereka hargai sebagai dewi, perempuan mereka pundi-pundikan sebagai dewi, tetapi mereka jaga dan awas-awaskan dan pada akhirnya perempuan menjadi suatu mahkluk yang selalu butuh pertolongan dan tidak akan pernah sampai mati menjadi mahluk yang akil-balig untuk menjadi dirinya sendiri.
Tidakkah masih banyak perempuan kita yang bernasib seperti ini? Merdeka, tapi melihat dunia tidak boleh, dikurungpun di tempat yang tidak selayaknya. Ternak saja masih melihat dunia luaran, tapi beberapa daerah di Indonesia masih banyak ‘Zubaida-Zubaida dan Saleha-Saleha yang yang dikurung diantara dinding-dinding yang tinggi, yang mereka lihat sehari-hari hanyalah suami dan anak, periuk nasi dan batu ulekan saja. Cahaya mata yang dulu semasa kanak-kanak begitu hidup dan bersinar tapi setelah setengah tua cahaya itu mata itu redup seperti menyimpan cerita yang tiada akhirnya, yaitu ketertindasan jiwa perempuan
Bagaimanakah pendapat Islam tentang soal kaum perempuan ini? Tentunya agama Islam punya hukum-hukum tersendiri tentang perempuan. Kenyataannya dalam masyarakat Islam sendiri ada beberapa aliran tentang posisi perempuan. Ada hukum yang modern, kolot dan juga sedang. Semuanya membawa dalil sendiri-sendiri. Mana yang benar? Mana yang salah? Cobalah kita dengan pikiran terbuka mempelajari posisi perempuan dalam Islam, ada kesan bahwa soal perempuan justru merupakan bagian yang paling menimbulkan pertikaian. Karena soal perempuan dalam masyarakat Islam sendiri masih mengandung dilema, pelik dan masih merupakan teka-teki sampai sekarang.
Sebelumnya telah disinggung bahwa laki-laki dan perempuan adalah dua mahkluk hidup yang terikat dengan tali gaib atau “tali hidup”. Walaupun laki-laki dan perempuan itu menetapkan sifat dan hakekatnya masing-masing. Tali hidup yang dimaksud bukan hanya tali hidup sosial saja, bukan karena karena bersatu rumah atau bersatu piring nasi saja. Lebih dari pada semua itu adalah tali hidup kodrat alam itu sendiri. Tali hidup “seks”! Laki-laki tidak dapat hidup subur tanpa adanya tali seks ini, juga perempuan tidak dapat hidup tanpa tali seks ini. Bukan hanya tali seks yang fungsinya biologis saja, tapi yang lebih penting tali seksnya jiwa.
Tiap-tiap pelacur saja yang mungkin setiap hari harus melayani beberapa laki-laki mengetahui bahwa,”tubuh” masih lain daripada “jiwa” . Pelacurpun masih dahaga akan cinta. Tali seks jasmani dan tali seks rohani inilah bagian dari “tali hidup“ yang mempertalikan laki-laki dan perempuan itu. Tali seks jasmani dan rohani inilah kodrat alam dan kodrat manusia. Manakala tali seks rohani diputuskan dan yang ada hanya tali seks jasmani saja, maka tidak puaslah kodrat alam itu. Kodrat alam minta pula minuman jiwa, kodrat alam minta “cinta” yang lebih memuaskan cita. “Cinta yang lebih suci”.
Pada saat kita bicara tentang kodrat alam, kita tidak membawa moral. Alam tidak mengenal moral. Martin Luther pernah berkata: “Siapa yang hendak menghalangi perkawinan sebagai yang dikehendaki dan dimestikan oleh alam, maka ia sama saja dengan menghendaki yang alam jangan alam, yang api jangan menyala, yang air jangan basah, yang manusia jangan makan, jangan minum, jangan tidur!” ”Tali seks ini memang bukan perkara moril, ia tidak pula immoral. Tali seks adalah kodrat alam.
Mengapa kita harus menyinggung tentang tali seks ini? Karena ada sisi ketidakadilan bagi kaum perempuan. Masyarakat kapitalis zaman sekarang ini adalah masyarakat yang membuat pernikahan suatu hal yang sukar, ada juga timbul undang-undang sehingga perkawinan adalah suatu yang tidak mungkin terutama menyangkut keyakinan dalam agama. Sehingga banyak pemuda dan pemudi menempuh jalan singkat alias bunuh diri disebabkan karena umur yang seharusnya memang sudah waktunya untuk menikah karena dorongan tali seks itu terhambat oleh peraturan-peraturan yang mempersulit terjadinya pernikahan itu. Sehingga banyak yang hamil diluar pernikahan dan umumnya perempuanlah yang lebih menanggung penderitaan itu dari pada laki-laki.
Tetapi, api seks yang menyala dalam jiwa laki-laki dapat mencari jalan keluar dengan melewati “pintu belakang” dengan pergi ketempat-tempat hiburan yang dapat menyalurkan hasrat seks dan perbuatan – perbuatan lain yang untuk memuaskan dahaga seksnya. Dunia biasanya tidak akan menunjuk laki-laki seperti itu dengan jari telunjuknya dan berkata “cih.., engkau telah berbuat dosa yang besar! ”Dunia seolah menganggap itu hal biasa yang ‘boleh diampuni”. Tapi bagaimana dengan perempuan? tidak ada pintu belakang dan jari tunjuk masyarakat hanya menuding pada perempuan saja, tidak menunjuk pada pihak laki-laki, tidak menunjuk secara adil. Ke-seks-an laki-laki setiap waktu dapat merebut haknya dengan leluasa, kendati masyarakat tak memudahkan perkawinan, ke-seks-an perempuan terpaksa tertutup dan terbakar menghanguskan kalbu perempuan.
Pada hakekat yang sedalam-dalamnya tentang perhubungan laki-laki dan perempuan adalah kodrat alam yang tidak dapat ditentang dan dikurangi haknya. Kita semua menghormati dan menghargai ketertiban dan peraturan yang mengatur laki-laki dan perempuan dalam pernikahan menjadi suatu yang luhur dan suci Tapi apakah kita sudah adil dalam menetapkan hukum-hukum tersebut?
Alangkah baiknya masyarakat juga sama adilnya dalam ini. Kita akui ada perbedaan yang sangat fundamental antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki tidak sama dengan perempuan. Tiap-tiap mata mengetahuinya. Perbedaan dari bentuk tubuh dan fungsi, serta susunannya. Alam memberikan fungsi alat-alat ke”laki-lakian” kepada laki-laki dan fungsi alat “keperempuanan” pada perempuan. Buat laki-laki memberi dzat anak, buat perempuan menerima dzat anak, mengandung anak dan melahirkan anak, menyusui anak, memelihara anak. Tetapi tidaklah perbedaan-perbedaan ini harus membawa perbedaan pula dalam peri kehidupan perempuan dan laki-laki sebagai mahluk masyarakat.
Perbedaan bentuk tubuh dan susunan tubuh ini hanyalah untuk kesempurnaan tercapainya tujuan dari kodrat alam, yaitu tujuan mengadakan keturunan, memelihara keturunan “Hanyalah“ untuk tujuan kodrat alam itu sendiri.
Sesungguhnya! Alangkah munafiknya pembela-pembela sistim masyarakat yang sekarang. Mereka membiarkan istilah “house wife“ seolah dikeramatkan oleh kaum laki-laki dan kaum perempuan bangga dengan kecukupan atas istilah keramat ini. itu. Karena dengan adanya istilah “house wife” perempuan seakan mendapatkan status dalam rumah tangga. Sementara dari pekerjaaan yang dilakukannya tak terhindar dari gerutu dan ketidakpuasan dalam hati yang juga lelah karena harus mengurus mulai dari keperluan anak hingga keperluan suaminya.
Maka kadang tidak disadari itu menjadi pemicu dalam renggangnya tali seks jasmani dan rohani. Karena kaum perempuan hanya menyerah pada soal status dalam perhubungan laki-laki dan perempuan sebagai suami isteri. Seperti itulah gambaran masyarakat kapitalis sekarang ini. Yang penting perempuan tercukupi lalu uruslah rumah tangga dan jadilah isteri yang baik-baik di rumah. Karena kaum perempuan masih dianggap tidak cukup kuat memikul pekerjaan di masyarakat, dianggap tidak cerdas dan pandai dan mahkluk yang tidak mampu berdiri sendiri. Sepanjang sejarah kaum perempuan terombang-ambing karena proses sejarah evolusi dari tingkat cara hidup manusia. Sampai kapankah kaum perempuan ini mau diperlakukan seperti blasteran si dewi dan si tolol?
Ada tiga tingkatan pergerakan yang diperjuangkan oleh kaum perempuan. Artinya zaman sebelum revolusi Amerika dan Perancis sampai kezaman yang sekarang ini.
Tingkat kesatu: Pergerakan menyempurnakan “keperempuanan”, yang lapangan usahanya misalnya: memasak, menjahit, berhias, memelihara anak dan sebagainya.
Tingkat kedua: Pergerakan feminisme yang wujudnya adalah perjuangan persamaan hak dengan kaum laki-laki. Programnya adalah hak untuk melakukan pekerjaan dalam masyarakat dan hak pemilihan, dipandang dan diperlakukan sebagai manusia yang utuh di atas lapangan hukuk-hukum negara dan adat istiadat. Pergerakan feminis ini sering dinamakan “emansipasi wanita” dan aksinya bersifat menentang kaum laki-laki.
Tingkat ketiga; Pergerakan sosialisme, dimana laki-laki dan perempuan bersama –sama berjuang bahu-membahu, untuk mendatangkan masyarakat sosialistis dimana kaum laki-laki dan perempuan saling sejahtera dan bebas merdeka.
Demikian perjuangan yang selama ini dilakukan oleh kaum perempuan. Tetapi dalam perjalanan sejarah sekarang ini dan evolusi dari tingkat hidup manusia maka dengan itu berkembanglah perjuangan perempuan pada “tingkat ketiga” yaitu pergerakan perempuan dalam aksi sosialis hendak mendatangkan dunia baru yang di dalamnya perempuan dan laki-laki sama-sama mendapat kepuasan, kebahagiaan. Satu dunia baru yang disana bukan saja perempuan sama haknya dengan laki-laki tapi juga tidak menderita karena penindasan dan pemerasan dalam arti jasmani maupun rohani. Didalam dunia baru itu perempuan ada peranan dan juga ada pertemuan serta pertunggalan antara “pekerjaan masyarakat” dengan “pekerjaan rumah tangga”.
Aksi perempuan feminis berjalan “melawan” laki-laki. Aksi perempuan sosialis berjalan “bersama-sama” dengan laki-laki. Maka dengan tercapainya ”tingkat ketiga” ini, tercapai juga tingkat yang tertinggi dalam pergerakan perempuan mengejar nasib yang lebih layak. Dan tingkat yang tertinggi itu sampai saat ini masih menggelora, dan akan terus menggelombang tak akan lenyap, sebelum mencapai masyarakat yang adil makmur sejahtera, pengganti masyarakat kapitalis yang di dalamnya penindasan kelas bagi kaum perempuan.
Perempuan dilahirkan dalam kemerdekaan, dan sederajat dengan laki-laki. Tujuan tiap-tiap masyarakat hukum ialah: kemerdekaan, kemajuan, keamanan, menentang penindasan. Tetapi sampai sekarang, perempuan dipersempit jalannya untuk mengerjakan hal-hal yang karena semata-mata kodrat saja yang merupakan haknya.
Kebangsaan yang menjadi sendi dasar negara ini, terdiri dari orang laki-laki dan perempuan. Hukum-hukum negara haruslah gambaran kehendak yang timbul dari persatuan kaum tanpa perbedaan. Oleh karena itu, maka semua warga negara baik laki-laki maupun perempuan yang masing-masing dengan kemampuannya harus diperbolehkan masuk dalam jabatan-jabatan umum, pekerjaan-pekerjaan umum. Hanya kemampuan dan kepandaianlah yang boleh dipakai sebagai tolak ukur tersebut, “bukan karena dia adalah perempuan”! Suatu peraturan dalam negara tidak akan sah kalau tidak dibuat oleh jumlah terbanyak daripada semua orang yang duduk dalam perwakilan yang merupakan bagian dari bangsa dan kaum ini. Perempuan harus mempunyai hak suara dalam menentukan undang-undang dan peraturan negara, juga dalam pihak yang sama dengan laki-laki untuk mengurus kekayaan negara juga hak yang sama untuk meminta perhitungan akan cara memakai kekayaan negara ini.
“Perempuan berhak naik ketiang gantungan tetapi juga harus berhak pula menaiki mimbar“! Hak-hak kaum perempuan inipun harus dipergunakan untuk kepentingan umum, tidak untuk kepentingan kaum perempuan saja.
“Bangunlah, hai kaum perempuan! Obornya kebenaran sudah memecah awan-awannya kebutaan dan kezaliman! Kapankah kamu sadar? Bersatulah! Letakkan dihadapan kekuatan kezaliman kekuatan kecerdasan dan keadilan yang ada dalam genggamanmu! Dan akan segera kamu lihat, bahwa laki-laki itu tidak lagi akan duduk disamping kakimu sebagai penyembah asmara dan dunia tidak lagi menganggap dirimu blasteran si dewi dan si tolol tetapi dengan berbesar hati membagi hak-hak perikemanusiaan abadi yang sama denganmu. Berjalan bersama denganmu selangkah dan bergandengan tangan untuk segera mewujudkan masyarakat adil makmur dan sejahtera. Mainkan musik orkestra yang harmoni dan indah dalam peran skenario Blue Print Panca Sila.
Jayalah bangsa Indonesia! Jayalah seluruh Nusantara! Maka Teranglah dunia!
Oleh : SKTP
Ditulis Oleh : Unknown
Anda sedang membaca artikel tentang Peranan Perempuan dalam Skenario Blue Print Panca Sila . , Anda diperbolehkan mengcopy paste atau menyebar-luaskan artikel Peranan Perempuan dalam Skenario Blue Print Panca Sila ,Jika Bermanfaat, Namun jangan lupa untuk meletakkan link dibawah ini sebagai sumbernya
Artikel Terkait