MASYUMI,Inspirasi Pergerakan Islam Modern Yang Takkan Memudar dari Generasi ke Generasi
MASYUMI lahir sebagai Wadah Persatuan Perjuangan Umat Islam Indonesia
Gerbang Kemerdekaan Indonesia pada akhirnya terbuka juga atas berkat Rahmat Allah SWT sebagai klimaks dan titik puncak (kulminasi) perjuangan setelah bangsa dan anak bangsa ini mengalami fase – fase panjang mempertaruhkan jiwa raga demi satu kata MERDEKA. Jadi tidaklah benar jika kemerdekaan ini merupakan hadiah dari jepang, yang benar janji me-merdekakan itu adalah sebuahpropaganda jepang sebagai pemimpin asia dan saudara tua disertai pula dengan janji me-merdekakan bangsa asia dari penjajahan bangsa eropa dan sekutunya.
Sementara para pemimpin pergerakan termasuk diantaranya Kyai Haji Mas Mansur yang tergabung dalam
empat serangkai bersama dengan Ir. Soekarno, Drs. Moh Hatta dan Ki Hajar Dewantoro secara terus menerus mengobarkan semangat perlawanan rakyat untuk perjuangan kemerdekaan dengan menggalang umat islam dalam PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat), perlawanan yang gigih ditunjukkan oleh laskar –
laskar hizbullah dan laskar – laskar pembela tanah air, juga serangkaian jalan panjang diplomasi akhirnya berbuah manis dengan berdirinya milisi peta (cikal bakal TNI), berdirinya satu wadah kekuatan ummat Islam MASJUMI (cikal bakal Partai MASJUMI) dan lahirnya badan – badan lain yang dibentuk sebagai upaya untuk mempersiapkan Indonesia Merdeka (BPUPKI dan PPKI).
Bukti besarnya peran ummat Islam dalam membidani kemerdekaan terlihat jelas dari
bendera tentara PETA yang juga mencantumkan lambang bulan dan bintang yang banyak diasumsikan sebagai simbol perjuangan ummat Islam.
Bulan Bintang sebagai simbol perjuangan
Lambang bulan bintang dalam masyarakat Islam pada umumnya mengesankan sebagai simbol Islam meskipun tidak bisa diingkari bahwa tidak menutup kemungkinan adanya tafsir yang berbeda terhadap simbol dan lambang bulan bintang tersebut. Simbol bulan bintang di masa lalu pernah digunakan sebagai tanda gambar Sarekat Islam sebagai cikal bakal Pergerakan Islam dan pernah pula digunakan sebagai tanda gambar Partai Masyumi yang merupakan cikal bakal
Pergerakan Islam Modern.
Pada tanggal 7 dan 8 November 1945 diadakan Muktamar atau
Konggres Umat Islam Indonesia di Yogyakarta yang dihadiri oleh hampir semua
tokoh berbagai
organisasi Islam dari masa sebelum perang serta masa pendudukan Jepang. Kongres memutuskan untuk mendirikan majelis syuro pusat bagi ummat Islam Indonesia, Masjumi yang dianggap sebagai satu-satunya
partai politik bagi
ummat Islam. Pada awal pendirian Masjumi, hanya empat organisasi yang masuk Masjumi yaitu
Muhammadiyah,
Nahdlatul Ulama,
Perikatan Ummat Islam, dan
Persatuan Ummat Islam. Setelah itu, barulah organisasi-organisasi Islam lainnya ikut bergabung ke Masjumi antara lain Persatuan Islam (Bandung), Al-Irsyad (Jakarta), Al-Jamiyatul Washliyah dan Al-Ittihadiyah (keduanya dari Sumatera Utara). Selain itu, pada tahun 1949 setelah rakyat di daerah-daerah pendudukan Belanda mempunyai hubungan leluasa dengan rakyat di daerah-daerah yang dikuasai oleh RI, banyak di antara organisasi Islam di daerah pendudukan itu bergabung dengan Masjumi. Mudahnya persyaratan untuk masuknya sebuah organisasi Islam
ke dalam Masjumi menjadi salah satu penyebab banyaknya organisasi-organisasi Islam yang masuk ke dalamnya. Namun hal yang paling penting mengenai alasan meraka masuk ke dalam Masjumi dikarenakan semua pihak merasa perlu bergabung dan memperkuat barisan Islam.
Penyebaran Masjumi dapat dikatakan sangat pesat dan cepat. Hampir di seluruh wilayah Indonesia terdapat cabang Masjumi atau organisasi-organisasi Islam yang bergabung dengan Masjumi. Di samping afiliasi organisasi-organisasi tadi, faktor lain yang menyebabkan Masjumi cepat berkembang ialah peranan ulama di masing-masing daerah serta Ukhuwah Islamiyah yang relatif tinggi pada masa-masa sesudah revolusi.
MASYUMI dan Pencapaian Gemilang Pemilu 1955
Hasil penghitungan suara dalam Pemilu 1955 menunjukkan bahwa Masyumi mendapatkan suara yang signifikan dalam percaturan politik pada masa itu. Masyumi menjadi
partai Islam terkuat, dengan menguasai 20,9 persen suara dan menang di 10 dari 15 daerah pemilihan, termasuk
Jakarta Raya, Jawa Barat, Sumatera Selatan, Sumatera Tengah, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara Selatan, dan Maluku. Namun, di Jawa Tengah, Masyumi hanya mampu meraup sepertiga dari suara yang diperoleh PNI, dan di Jawa Timur setengahnya. Kondisi ini menyebabkan hegemoni penguasaan Masyumi secara nasional tak terjadi.
Berikut hasil Pemilu 1955:
Partai Nasional Indonesia (PNI) - 8,4 juta suara (22,3%)
Masyumi - 7,9 juta suara (20,9%)
Nahdlatul Ulama - 6,9 juta suara (18,4%)
Partai Komunis Indonesia (PKI) - 6,1 juta suara (16%)
Dari
pemilu 1955 ini, Masyumi mendapatkan 57 kursi di parlemen.
Jejak Panjang Perjuangan Masyumi untuk ummat dan bangsa tidak bisa begitu saja dihapuskan,
di era kekinian Masyumi tetap menjadi inspirasi paling aktual dan relevan bagi dunia kepartaian dan perpolitikan di tanah air.
Masyumi lahir dari ide besar yakni Islamic Modernization, sebagai partai ia bisa dibubarkan tetapi sebagai ide besar ia akan tetap muncul dalam bentuk yang lain.
Nostalgia kebesaran Masyumi memang tetap terasa hingga saat ini, penulis banyak menjumpai para orang tua di desa – desa yang menjadi saksi hidup
sistem multi partai pada pemilu 1955, mereka masih bisa menggambarkan bagaimana hangatnya persaingan diantara partai – partai saat itu, kontestansi partai politik yang besar mendapat sambutan yang luar biasa dari masyarakat yang hampir semua larut dalam euphoria demokrasi yang meluap –luap, itulah Pesta Demokrasi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat yang pertama dan terbesar pasca kemerdekaan.
Diantara
saksi – saksi hidup itu kebanyakan masih bisa menghafal Hymne/Mars Partai Masyumi yang kurang lebih berbunyi sebagai berikut :
Bismillah mari kita memilih
Lambang Bulan Bintang Putih
Atas Dasar Hitam nan Bersih
Tanda Gambar Masyumi
Partai Berjasa Nusa dan Bangsa
Demi Setia Agama
Partai Berjasa Nusa dan Bangsa
Demi Setia Agama
Menurut salah seorang saksi menjelang akhir tahun 50-an kekuatan
Nasakom yang melingkari kekuasaan
Bung Karno semakin besar bahkan
PKI terus menerus mencari jalan untuk lebih dekat lagi dan menguatkan posisinya di pusat kekuasaan, Pada sisi yang lain Masyumi yang menjadi oposisi loyal dan sering memperingatkan bung karno akan ancaman
bahaya laten komunisme yang anti tuhan tak urung menjadi target fitnah dan target “untuk dihabisi” secara politik.
Penulis mendengar penuturan para saksi sejarah dengan seksama bahwa saat itu suhu politik meninggi terasa hingga ke desa – desa, penggalangan massa dalam bentuk mimbar- mimbar bebas diadakan oleh
kader – kader PKI yang mengaku sebagai
barisan penyelamat soekarno, biasanya mereka membuka orasinya dengan slogan – slogan sebagai berikut :
Merdeka !!!
Hidup Bung Karno !!!
Hidup Nasakom !!!
Ganyang Masjumi !!!
Kuatnya
sentimen anti Masyumi yang di produksi dan direproduksi itulah yang kelak bermuara dalam bentuk opsi pembubaran partai Masyumi
Cendawan yang tumbuh di musim penghujan
Masyumi dibubarkan oleh Presiden Soekarno pada tahun 1960 melalui Keppres Nomor 200/1960 tanggal 15 Agustus 1960 lantaran beberapa tokoh terasnya dicurigai terlibat dalam gerakan
Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), Pembubaran Masyumi pada masa rezim Soekarno tersebut menancapkan luka yang mendalam bagi para tokoh ummat Islam saat itu, Masyumi telah menjadi tumbal sejarah justru di tengah masa-masa kejayaannya.
Konon setelah berakhirnya periode Masyumi, Keluarga Besar Bulan Bintang mengalami kevakuman politik namun beberapa saksi mengutip dan menggarisbawahi pesan Buya Mohammad Natsir bahwa :
Keluarga Besar Bulan Bintang harus bisa hidup, berkarya dan berjuang dimana saja untuk kepentingan ummat, bangsa dan negara laksana cendawan yang tumbuh di musim penghujan.
MASYUMI dan Diskriminasi Politik Rezim Orde LamaPada akhir tahun 1960 Soekarno menerbitkan Keppres Nomor 200/1960 tanggal 15 Agustus 1960, yang isinya membubarkan Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI). Namun pelaksanaan pembubaran itu harus dilakukan sendiri oleh Masyumi dan PSI. Jika dalam tempoh seratus hari kedua partai itu tidak membubarkan diri, maka partai itu akan dinyatakan sebagai partai terlarang. Sebab itulah Ketua Umum Masyumi Prawoto Mangkusasmito dan Sekjennya Muhammad Yunan Nasution, mengeluarkan pernyataan politik membubarkan Masyumi, mulai dari pusat sampai ke daerah-daerah.
Presiden Soekarno, pada akhir tahun 1960. Soekarno menerbitkan Keppres Nomor 200/1960 tanggal 15 Agustus 1960, yang isinya membubarkan Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI). Namun pelaksanaan pembubaran itu harus dilakukan sendiri oleh Masyumi dan PSI. Jika dalam tempoh seratus hari kedua partai itu tidak membubarkan diri, maka partai itu akan dinyatakan sebagai partai terlarang. Sebab itulah Ketua Umum Masyumi Prawoto Mangkusasmito dan Sekjennya Muhammad Yunan Nasution, mengeluarkan pernyataan politik membubarkan Masyumi, mulai dari pusat sampai ke daerah-daerah.
Apa yang ada di kepala orang Masyumi waktu itu ialah Soekarno mulai menjadi diktator dan negara makin bergerak ke arah kiri. Dalam perhitungan mereka, tanpa Masyumi, maka kekuatan PKI akan semakin besar dan sukar dibendung. PNI sebagai representasi kelompok nasionalis, telah dintrik dan diintervensi oleh kekuatan kiri melalui kelompok Ali Sastroamidjojo dan Surachman. Kendatipun memiliki basis massa yang besar, elit politisi NU dibawah pimpinan Idham Chalid dan Saifuddin Zuhri, takkan kuat menghadapi Soekarno dan PKI sendirian. Apalagi, makin nampak kecenderungan akomodatif NU untuk menerima posisi representasi kelompok agama dalam poros Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunis), suatu hal yang ditentang keras oleh Masyumi.
Tokoh-tokoh Masyumi memang dihadapkan pada dilema dengan Keppres 200/1960 itu. Menolak melaksanakan pembubaran diri, berarti secara hukum, partai itu akan dinyatakan sebagai
partai terlarang. Karena itu, mereka memilih alternatif yang juga tidak menyenangkan yakni membubarkan diri, dengan harapan suatu ketika partai itu akan hidup kembali, jika situasi politik telah berubah. Prawoto sendiri mengatakan, Keppres 200/1960 itu ibarat vonis mati dengan hukuman gantung, sementara eksekusinya dilakukan oleh si terhukum itu sendiri. Memang terasa menyakitkan.
Meskipun Masyumi telah membubarkan diri, dan tokoh-tokohnya yang terlibat dalam PRRI telah memenuhi panggilan amnesti umum dan mereka menyerah, namun perlakuan terhadap mereka tetap saja jauh dari hukum dan keadilan. Tokoh-tokoh Masyumi yang menyerah itu,
Natsir, Sjafruddin Prawiranegara dan
Boerhanoeddin Harahap ditangkapi. Bahkan mereka yang tidak terlibat PRRI seperti
Prawoto, Mohamad Roem, Yunan Nasution, Isa Anshary, Kasman Singodimedjo, Buya Hamka dan yang lain, juga ditangkapi tanpa alasan yang jelas. Bertahun-tahun mereka mendekam dalam tahanan di Jalan Keagungan, Jakarta, tanpa proses hukum. Ini terang suatu bentuk pelanggaran HAM yang dilakukan Sukarno.
Tokoh utama PSI,
Sutan Sjahrir bahkan mendekam dalam penjara di sebuah pulau di lautan Hindia, di sebelah selatan daerah Banten. Dalam kondisi tahanan yang buruk, Sjahrir sakit, sampai akhirnya wafat walau mendapat perawatan di Swiss. Tokoh PSI yang lain, Soebadio Sastrosatomo dan Hamid Algadri juga ditahan. Perlakuan terhadap anak-anak dan keluarga orang Masyumi di masa itu hampir sama saja dengan perlakuan keluarga
PKI di masa Orde Baru. Ketika itu PKI sedang jaya. Ketika mereka sedang jaya, mereka juga membantai orang-orang Masyumi
di Madiun tahun 1948, dan menculik dan menghilangkan paksa orang-orang Masyumi di Jawa Barat dan tempat-tempat lain. Hendaknya sejarah jangan melupakan semua peristiwa ini. Di era Reformasi sekarang, banyak aktivis HAM hanya berbicara tentang orang-orang
PKI pasca G 30 S yang menjadi korban pembantaian Orde Baru, tetapi mereka melupakan orang-orang Masyumi yang menjadi
korban pembantaian dan penghilangan paksa PKI, ketika mereka masih jaya-jayanya.
Diskriminasi atas Masyumi pada masa rezim orde lama berlanjut dengan kebijakan politik rezim orde baru yang menolak merehabilitasi Partai Masyumi.
PENUTUP
Setelah Masyumi dibubarkan pada tahun 196o, sejak itu seluruh keluarga besar Masyumi selalu menyebut dirinya dengan istilah “
Keluarga Besar Bulan Bintang” atau “Keluarga Besar Bintang Bulan”. Saat ini ditengah pragmatisme yang membadai dalam kehidupan pergerakan perlu kiranya kita menggelorakan lagi reaktualisasi ideologi Masyumi, dengan tentunya memperhatikan perkembangan zaman. Islam diyakini sebagai agama universal dan “rahmatan lil ‘Alamin”. Prinsip-prinsip ajaran sosial dan politik Islam yang universal itu perlu ditransformasikan ke dalam rumusan ideologis untuk dijadilkan landasan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan umat Islam dan bangsa Indonesia di negeri ini.
[sumber;masyumicentre.com]