Jalur perdagangan yang sering digunakan pada waktu itu adalah Malaka, Maluku, dan Laut Jawa sebagai urat nadinya. Namun, dengan ditunjang kekayaan alam Indonesia mendorong bangsa-bangsa asing tersebut bukan hanya melakukan kegiatan perdagangan, melainkan juga menguasai daerah-daerah di sekitarnya terutama daerah yang menguntungkan. Dalam penguasaanya itu, pemerintah kolonial mengeluarkan berbagai kebijakan. Serangkaian kebijakan pemerintah kolonial mampu mengubah tatanan kehidupan bangsa Indonesia. Kekuasaan kolonial secara pelan namun pasti berhasil memengaruhi terjadinya perubahan diberbagai aspek kehidupan. Adapun bentuk-bentuk pengaruh kolonial di antaranya meliputi agama, adat istiadat, pendidikan, kesenian, hukum, dan sistem pemerintahan.
1. Masa Pemerintahan Portugis
Kekuasaan Portugis di Maluku diawali dengan kedatangan Francisco Serrao. Portugis mulai mendapat angin segar ketika penguasa Ternate meminta bantuannya dalam menghadapi penguasa Tidore yang didukung Spanyol. Sebagai imbalannya Sultan Ternate memberi izin kepada Portugis untuk mendirikan benteng di sana.
Setelah mempunyai kedudukan di Maluku, Portugis mengincar Sumatra yang kaya akan lada. Kehadiran Portugis di Sumatra mendapat tentangan, terutama dari Kerajaan Aceh. Sementara itu, di Jawa, Portugis hanya dapat berdagang di Pasuruan dan Blambangan. Di daerah lainnya Portugis tidak dapat berdagang, sebab sebagian besar Jawa dikuasai oleh Kerajaan Demak. Di daerah Indonesia lainnya Portugis hanya dapat menetap di Timor, sementara kedudukannya di Ternate mulai goyah. Monopoli perdagangan dan penyebaran agama Nasrani yang dilakukan Portugis
di Maluku ditentang keras rakyat Ternate. Portugis memaksakan kekuasaan di Ternate,
Tidore, dan Jailolo yang akhirnya menimbulkan perlawanan rakyat.
Beberapa dampak dari imperialisme yang dilakukan oleh Portugis di Indonesia adalah sebagai berikut.
a. Dalam bidang politik, dengan dikuasainya Malaka menghancurkan organisasi perdagangan Asia, Macau di Cina, dan Ambon.
b. Terjadinya penyebaran agama Kristen yang dipimpin olehXaverius di Ambon, Ternate, dan Morotai.
c. Banyaknya nama orang di daerah Maluku yang menggunakan nama Portugis. Selain itu, ada beberapa kata dalam bahasa Indonesia yang menyerap unsur bahasa Portugis seperti meriam, minggu, nona, signor, sinyor, dan dalam kesenian,musik keroncong merupakan perpaduan dengan budayaPortugis.
2. Masa Pemerintahan Kompeni (VOC)
Pada masa Gubernur Jenderal J.P. Coen (1619–1623, 1627–1629) diberlakukan berbagai kebijakan di antaranya adalah sebagai berikut.
a. Memonopoli perdagangan di Maluku.
b. Menjadikan Batavia sebagai pelabuhan dan pusat kekuasaan VOC.
c. Menjalankan politik devide et impera (adu domba) antara raja-raja di Jawa dengan kepulauan Nusantara lainnya.
d. Mendatangkan keluarga-keluarga Belanda untuk mengelola pertanian di Indonesia.
e. Proses westernisasi pada budaya-budaya pribumi.
f. Memonopoli perdagangan rempah-rempah.
Salah satu kebijakan Coen yang paling keras yaitu dihancurkannya Pulau Banda. Penduduk Banda dibantai, sedangkan yang hidup dijadikan budak.Untuk menjalankan misi menaklukkan Nusantara, VOCmelakukan strategi sebagai berikut ini.
a. Melakukan tindak kekerasan, peperangan, dan tindakan kasar terhadap penguasa setempat dan para pedagang yang melawannya.
b. Mengusir dan membunuh para penduduk yang menolak menjual barang dagangannya kepada VOC.
c. Menghancurkan pusat-pusat perdagangan Islam di Nusantara.
d. Melakukan tipu muslihat serta mencampuri urusan dalam negeri setiap kerajaan, terutama di Jawa.
Pada tahun 1799, VOC mengalami kebangkrutan yang disebabkan faktor-faktor berikut.
a. Banyaknya korupsi yang dilakukan para pegawai VOC, apalagi mereka tidak mempunyai kewajiban untuk memberikan laporan keuangan pada pemerintah Belanda.
b. Banyaknya biaya yang harus dikeluarkan VOC sebagai dampak dari peperangan yang dilakukan VOC di Nusantara.
c. Persaingan yang ketat dengan kongsi dagang lain.
d. Rakyat Indonesia tidak mampu lagi membeli barang-barang Belanda.
e. Terjadinya perdagangan gelap.
3. Masa Pemerintahan Kolonial Belanda
Setelah VOC bubar, kekuasaan Belanda di Indonesia dilanjutkan oleh pemerintahan Hindia Belanda. Pemerintahan ini dipimpin oleh seorang gubernur jenderal sebagai wakil raja atau ratu Belanda. Setelah kekuasaan Raja Wilhem V runtuh, berdirilah Republik Bataaf. Selama 8 tahun Indonesia berada dalam kekuasaan Republik Bataaf (1799–1806). Namun, pada tahun 1795 Belanda takluk terhadap Prancis yang dipimpin Napoleon Bonaparte.
4. Masa Pemerintahan Daendels
Pada tahun 1806, Napoleon mengangkat adiknya, Louis Napoleon Bonaparte menjadi raja Belanda dan membubarkan Republik Bataaf. Kemudian Louis Napoleon mengangkat Marsekal Herman Willem Daendels menjadi gubernur jenderal di Hindia Belanda (1808–1811). Tugas utama Daendels adalah mempertahankan Pulau Jawa agar tidak direbut Inggris. Selain itu, Daendels juga mempunyai tugas memberantas penyelewengan dan korupsi. Untuk
itu, Daendels melakukan serangkaian persiapan sebagai berikut.
a. Membangun jalan raya dari Anyer sampai Panarukan sepanjang 1.100 kilometer. Hal ini dimaksudkan untuk memperlancar komunikasi antar daerah yang dikuasai Daendels di sepanjang Pulau Jawa.
b. Menarik orang Indonesia agar menjadi tentara.
c. Membangun pangkalan armada laut di Anyer dan Ujung Kulon.
d. Memaksa rakyat di daerah Priangan untuk menanam kopi yang hasilnya diserahkan kepada pemerintah.
e. Menjual tanah-tanah negara kepada orang swasta asing.
f. Memungut pajak yang tinggi terhadap rakyat.
Pada masa pemerintahannya, Daendels membagi Pulau Jawa menjadi beberapa wilayah administratif yang disebut prefectur, di mana masing-masing wilayah itu diperintah oleh seorang prefect. Prefecturadalah wilayah administratif setara karisedenan.
Pada masa pemerintahan Daendels ini juga terjadi permusuhan antara raja-raja Jawa dengan Daendels. Salah satunya, yaitu Sultan Banten yang menentang Daendels akibat pembangunan jalan antara Anyer–Panarukan. Namun, Daendels mampu menghancurkan Banten dan mengasingkan sultan ke Ambon. Perlawanan serupa juga dilakukan oleh Raja Jogjakarta di bawah pimpinan Hamengkubuwono II. Hal ini berakibat harus kehilangan tahta dan wilayah kekuasaan Jogja diperkecil. Deandels datang ke Jawa dengan membawa semangat pembaruan yang dikombinasikan dengan kediktatoran. Dia sangat membenci feodalisme penguasa-penguasa di Jawa, sehingga berusaha menjadikan wewenang dan kekuasaan mereka berburang dengan mengangkat mereka menjadi pegawai administratif Eropa. Hal itu menimbulkan perlawananperlawanan terhadap Daendels.
5. Masa Pemerintahan Inggris
Inggris mendarat di Batavia pada tanggal 11 Agustus 1811 dan langsung menyerang Belanda. Akhirnya Batavia jatuh ke tangan Inggris dan Janssens sebagai pengganti Gubernur Jenderal Daendels lari ke Tuntang. Ia tidak mempunyai pilihan, selain menyerah kepada pasukan Inggris yang dipimpin Lord Minto. Menyerahnya Belanda itu tertuang dalam Perjanjian Tuntang (1811). Isi Perjanjian Tuntang adalah sebagai berikut.
a. Seluruh kekuatan militer Belanda di Asia Tenggara harus diserahkan kepada Inggris.
b. Utang pemerintah Belanda tidak diakui Inggris.
c. Pulau Jawa, Madura, dan semua pangkalan Belanda di luar Jawa menjadi wilayah kekuasaan Inggris.
Inggris mengangkat Thomas Stamford Raffles (1811–1816) sebagai letnan gubernur jenderal mewakili Lord Minto yang berkedudukan di Calcutta, India. Perubahan-perubahan penting yang dilakukan Raffles adalah sebagai berikut.
a. Bidang Pemerintahan
1) Membagi Pulau Jawa menjadi 18 karesidenan dan mengangkat asisten residen orang Eropa sebagai pengawas bupati.
2) Mengurangi kekuasaan para bupati dengan menjadikannya sebagai pegawai pemerintah dan digaji dengan uang, sehingga tidak mengandalkan pajak dari masyarakat.
3) Menerapkan pengadilan dengan sistem juri.
b. Bidang Ekonomi
1) Menghapuskan sistem kerja rodi yang pernah diterapkan oleh Daendels, kecuali untuk daerah
Priangan dan Jawa Tengah.
2) Menghapuskan pelayaran hongi yang pernah diterapkan oleh VOC.
3) Menghapuskan sistem perbudakan.
4) Menghapuskan penyerahan wajib dan hasil bumi dari penduduk kepada penguasa.
5) Melaksanakan sistem pajak tanah (landrent system) dengan ketentuan petani harus menyewa tanah yang digarapnya kepada pemerintah, di mana besarnya sewa tanah disesuaikan dengan keadaan tanah. Pajak bumi harus dibayar dengan uang atau beras, dan orangorang yang bukan petani dikenakan pajak kepala.
Kegiatan Raffles yang berjasa dalam bidang ilmu pengetahuan antara lain sebagai berikut.
a. Membangun Gedung Harmoni untuk lembaga ilmu pengetahuan Bataviassch Genootshap.
b. Menulis sejarah kebudayaan dan alam Jawa dalam “History of Java.”
c. Sebagai perintis Kebun Raya Bogor, dan Nama Raffles diabadikan sebagai nama bunga bangkairafflesia arnoldi.
6. Masa Pemerintahan Belanda dan Pax Nederlandica
Berikut adalah masa-masa yang harus dilalui selama pemerintahan Belanda dengan menjadikan Indonesia sebagai Pax Nederlandica, yang berarti perdamaian di bawah Belanda. a. Masa Peralihan (1816–1830) Peralihan kekuasaan dari tangan Inggris ke tangan Belanda yang terjadi pada tahun 1816 ini menghadapkan Belanda pada permasalahan sistem mana yang akan diterapkan di Indonesia agar keuntungan secara ekonomi tetap didapatkan. Terjadinya perubahan politik yang diakibatkan oleh peristiwa-peristiwa di Eropa mendorong Inggris dan Belanda mengadakan perundingan di London.
Berikut ini ketetapan berdasarkan Convention of London (1814).
1) Semua bekas jajahan Belanda yang dikuasai Inggris dikembalikan kepada Belanda, kecuali Afrika Selatan, Ceylon, dan beberapa tempat di India.
2) Akan dibentuk komisi yang dipimpin oleh Komisaris Jenderal Elout, Buyskes, dan Van der Capelen. Komisi ini bertugas memperbaiki ekonomi Indonesia, membayar utang-utang Belanda, dan mengambil piutangnya.
3) Pemerintah Belanda mendirikan Nederlandsche Handels Maatschappij (serikat dagang Belanda satu-satunya yang berhak mengekspor hasil bumi yang dihasilkan dari tanam paksa) yang mendapatkan bantuan dari pemerintah Belanda dan Eropa.
Dengan demikian, sejak tahun 1816 Indonesia diserahkan kembali kepada Belanda di bawah pimpinan Gubernur Jenderal Van der Capellen. Van der Capellen pada tahun 1823 membuat kebijakan menghentikan dan menghapus penyelewengan tanah swasta di Jawa Tengah. Kebijakan tersebut merugikan para bangsawan pribumi, karena mereka harus membayar ganti rugi dan uang sewa yang harus dibayarkan pada para pengusaha Eropa dan Cina. Inilah salah satu faktor penyebab munculnya pemberontakan dari para bangsawan di Jawa Tengah.
b. Masa Tanam Paksa (Cultuurstelsel) (1830–1870)
Pada tahun 1830-an Belanda dihadapkan pada permasalahan keuangan yang parah, bahkan terancam bangkrut akibat besarnya biaya peperangan yang harus mereka keluarkan selama peperangan di Jawa, Bonjol, dan Belgia. Oleh karena itu, Van den Bosch memperkenalkan sebuah sistem yang dapat memberikan keuntungan besar dengan menggunakan cara-cara tradisional, yaitu cultuurstelsel. Bosch menilai bahwa Jawa sangat cocok dan dapat memberikan keuntungan besar bagi Belanda karena kesuburan tanah dan padatnya penduduk yang dapat digunakan sebagai pekerja dan pengolah lahan.
Pada masa pelaksanaan sistem tanam paksa, masyarakat wajib menanam tanaman seperti tebu, nila, teh, kopi, dan tembakau, di mana dalam pelaksanaannya diawasi dan dijalankan langsung oleh pemerintah. Adapun ketentuan sistem tanam paksa berdasarkan Lembaran Negara Tahun 1834 No. 22 adalah sebagai berikut.
1) Penyediaan lahan untuk tanaman wajib harus atas persetujuan penduduk.
2) Bagian tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk tanaman wajib tidak boleh melebihi seperlima bagian.
3) Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman wajib tidak boleh melebihi waktu menanam padi.
4) Bagian tanah yang digunakan menanam tanaman wajib tidak boleh melebihi luas lahan menanam padi.
5) Tanaman wajib yang dihasilkan harus diberikan kepada pemerintah. Jika hasil yang diperoleh lebih dari yang ditaksir, maka lebihnya diserahkan kepada penduduk.
6) Kegagalan panen ditanggung pemerintah asal kegagalan tersebut bukan karena kurang rajinnya penduduk.
7) Penduduk desa mengerjakan tanah-tanah mereka di bawah pengawasan kepala desa, sedangkan pegawai Eropa melakukan pengawasan terbatas agar penanaman dan panen berjalan baik dan tepat pada waktunya.
Dampak dari pelaksanaan sistem tanam paksa adalah sebagai berikut.
1) Belanda mendapatkan keuntungan yang sangat besar namun kesejahteraan masyarakat menurun, sehingga memunculkan kemiskinan yang parah.
2) Terjadinya penyelewengan aturan-aturan tanam paksa yang pada akhirnya sangat menyengsarakan penduduk.
3) Pemberlakuan cultuurprocenten menambah beban bagi penduduk.
4) Berkembangnya reaksi keras di Belanda terhadap pelaksanaan sistem tersebut hingga keluarnya UU Agraria Tahun 1870.
5) Masyarakat Indonesia mengenal jenis-jenis tanaman, teknik penanaman, dan pertanian yang baru.
6) Perluasan jaringan jalan raya untuk kepentingan tanam paksa.
c. Masa Liberal
Pelaksanaan sistem tanam paksa yang menyengsarakan masyarakat akhirnya mendapat kritikan dari berbagai pihak. Tokoh-tokoh penentang cultuurstelsel di antaranya adalah sebagai berikut.
1) E.F.E. Douwes Dekker lewat bukunya yang berjudul Max Havelaar Akibat kritikan Douwes Dekker atau yang dikenal dengan nama Multatuli, Belanda mengganti politik tanam paksa dengan politik pintu terbuka. Dalam bukunya, Multatuli mengemukakan keadaan pemerintahan
kolonial yang zalim dan korup di Jawa. Buku itu menjadi senjata bagi kaum liberal untuk melancarkan protes atas pelaksanaan tanam paksa.
2) Baron van Hoevell
Baron van Hoevell adalah mantan pendeta yang menyaksikan sendiri penderitaan rakyat akibat tanam paksa. Baron van Hoevell membela rakyat Indonesia melalui pidato-pidatonya di DPR Nederland.
3) Fransen van der Putte yang menulis Suiker Contracten. Hasil dari perdebatan di parlemen Belanda adalah dihapuskannya cultuurstelsel secara bertahap mulai tanaman yang paling tidak laku sampai dengan tanaman yang laku keras di pasaran Eropa. Secara berangsur-angsur penghapusancultuurstelsel adalah sebagai berikut.
a. Pada tahun 1860, penghapusan tanam paksa lada.
b. Pada tahun 1865, penghapusan tanam paksa untuk the dan nila.
c. Pada tahun 1870, hampir semua jenis tanam paksa telah dihapuskan.
Setelah dihapuskannya tanam paksa, kaum pengusaha swasta leluasa mengatur tanah jajahan demi keuntungan pribadi. UU Agraria Tahun 1870 membuka jalan bagi pihak swasta untuk menanamkan modalnya di Indonesia sehingga banyak investor swasta asing, seperti Inggris, Belgia, Prancis, Amerika Serikat, Cina, dan Jepang yang menanamkan modalnya di Indonesia. Dengan demikian, perkebunan di Indonesia meningkat dengan pesat. Akan tetapi, sistem
ini pun tidak lebih baik dibanding sistem sebelumnya. Sistem ekonomi terbuka telah mematikan para pengusaha pribumi yang memiliki modal kecil. Sistem yang buruk tersebut dibiarkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Bahkan, pemerintah kolonial mengeluarkan aturan yang merugikan kaum buruh pribumi. Misalnya, pada tahun 1881 pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan Undang-Undang Koelie Ordonantie yang mengatur para kuli.
Dengan aturan ini, kuli yang dipekerjakan di Sumatra harus melalui kontrak kerja. Tidak boleh meninggalkan pekerjaan sebelum kontraknya habis. Bagi yang melarikan diri dikenakan hukuman berupa punale sanctie. Penderitaan bangsa Indonesia bertambah buruk setelah pemerintah kolonial memberlakukan sistem rodi alias kerja paksa. Sistem tersebut diterapkan untuk mendukung program penanaman modal Barat di Indonesia dengan cara menyediakan sarana dan prasarana, seperti irigasi, wadukwaduk, jalan raya, jalan kereta, dan pelabuhan-pelabuhan.
Dalam membangun sarana-sarana tersebut, pemerintah kolonial Belanda menggunakan tenaga kerja Indonesia tanpa upah, serta dikerahkan secara paksa. Berbagai kebijakan pemerintah kolonial telah melahirkan penderitaan bagi rakyat Indonesia. Di daerah kerajaan, ajakan perlawanan dari para bangsawan maupun ulama yang berpengaruh untuk melawan kekuasaan asing dengan cepat mendapat sambutan baik dari kelompok rakyat, yang karena tekanan-tekanan hidup yang mereka alami sudah bersikap antipati terhadap kekuasaan asing. Secara umum dapat dikatakan bahwa kondisi di daerahdaerah selama kontak dengan kekuasaan Barat cukup subur untuk timbulnya perjuangan tersebut. Oleh karena dalam tiap-tiap daerah konvensi intensitas kontak dari kekuasaan Belanda tidak bersamaan waktu terjadinya, maka timbulnya perjuangan terhadap kekuasaan asingpun tidak sama waktunya. Perjuangan-perjuangan itu bisa berupa perlawanan besar, atau pemberontakan maupun hanya merupakan kericuhan-kericuhan